Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Tauhid Islam ~ PIECE BL☼G

Saturday, October 23, 2010

Tauhid Islam

‘La ilaha illa allah’, Tiada Tuhan selain Allah.
Itulah Tauhid Islamik yang merupakan kredo dua arah: pengakuan iman akan Allah semesta alam, dan penolakan kepada tuhan selainnya. Itulah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, yang menandai kehidupan seorang orok-bayi Muslim dan kematian Muslim dipenghujung hayatnya. Tauhid sekaligus merupakan pula syarat dasar bagi diterimanya amal perbuatan setiap Muslim disepanjang hidupnya.
Ulama-ulama Islam selalu berkata: “Hanya keesaan Tuhan yang Mutlak Satu dan sederhana sajalah yang bisa menjadi Tuhan Yang Benar”. Baik. Mari kita menyimak klaim hebat ini bersama.
Pertama-tama, siapakah Allah yang mutlak satu itu menurut Quran? Dan jawabannya termaktub dalam Qs.112, yang mendasari Tauhid Islam dalam suatu monotheisme yang sangat kuat dan mutlak. Begitu mutlak dan murninya monotheisme ini sehingga tidak memberi “peluang” bagi suatu kaitan pluralitas Tuhan, apapun ujud dan nuansanya. Absolutisme keesaan Tuhan ini tidak mengizinkan mendampingkan atau mempersekutukan atau mengasosiasikan Allah kepada sesuatu ujud dan sosok apapun yang lain, sebab hal itulah yang akan dianggap sebagai dosa syirik yang tidak terampuni oleh Allah, dan itulah kesesatan yang sejauh-jauhnya (Qs.4:116). Anehnya, agama Nasrani dan Yahudi telah turut dikategorikan Allah dan Muhammad  dalam polytheisme yang sesat ini, dalam dua ayat yang samasekali tidak mengandung kebenaran:
Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan Al Masih putera Maryam... (Qs.9:30,31).
Sayang Muslim hanya menelan semua ayat dengan mentah-mentah, sekalipun tak ada Nasrani dan Yahudi yang berpoliteis seperti yang dituduhkan itu. Semua orang tahu bahwa agama Yahudi terkenal sangat mutlak bermonoteistis, tak kalah dengan Islam sendiri. Dan tidak ada satupun diantara mereka yang mengenal Uzair yang di-allahkan Muhammad bagi mereka! Sementara rahib-rahib Nasrani juga tidak pernah mengklaim (atau diklaim) dirinya sebagai Tuhan! Jadi dari manakah asalnya sumber wahyu Muhammad yang sangat tidak akurat itu? Bahkan Yesus sendiri juga bukan putera Allah seperti yang salah dipahami oleh Muhammad sehingga selalu disebutnya sebagai Putera Maryam saja. Pada pikiran Muhammad, kaum Nasrani itu telah mempercayai sebuah kesesatan yang jauh. Yaitu percaya akan kehadiran Isa Al-Masih sebagai akibat kawin-mawin Allah dengan Maryam. Itu sebabnya Muhammad membantah mereka: “Bagaimana Ia (Allah) mempunyai anak padahal Ia tidak mempunyai isteri?...Mahasuci Allah dari mempunyai anak (biologis)” (Qs.6:101, 4:171).
Tentu saja anggapan tentang keanakan ini adalah sangat naif dan lagi-lagi keliru. Maka sosok “Anak Allah”  ini telah menciptakan persoalan baru yang tidak terselesaikan dalam Kristologi Islam sendiri, yang kembali salah lagi karena menuduh kaum Nasrani mengikut sertakan Maryam sebagai Tuhan, yang melahirkan anak Tuhan (Qs.6:101, 5:116), padahal tidak ada kaum Nasrani yang mentuhankan Maryam binti Imran.
Kesalahan diatas kesalahan, tetaplah Muhammad tidak melihat, karena tidak mampu memahamikemungkinan suatu pluralitas-inklusif terdapat dalam sebuah kesatuan, apalagi kalau itu berhubungan dengan substansi Ilahi yang memang serba mungkin! Kenapa Muhammad gagal memahaminya? Jawaban yang paling jelas antara lain terlihat dalam Sura Mu’minum 91:
Allah tiada mempunyai anak dan tiada tuhan bersamaNya, kalau sekiranya demikianniscaya tiap-tiap tuhan membawa mahluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebahagian yang lain. Maha Suci Allah dari yang mereka sifatkan itu. (penekanan oleh penulis)
Tampak bahwa setiap pengertian pluralitas dari ke-Esa-an Tuhan, selalu diniscayakanMuhammad kedalam sifat-sifat yang saling mutlak eksklusif,yang tidak mengizinkan konsep inklusifitas, karena setiap mereka akan saling membawa bala dan saling berperang memperebutkan “wilayah”! Maha Suci Allah dari yang disifatkan ini!
Padahal Trinitas Elohim adalah sosok ketuhanan yang selalu menyatu kekal dalam kasih yang tidak terbatas yang berunsurkan “Kami” dan “Kita” sebagaimana yang sering diistilahkan-Nya secara jamak bagi diri-Nya, disamping sebutan “Aku”. Muslim selalu menafsirkan tanpa bukti bahwa sebutan jamak tersebut adalah sebutan kebesaran/kerajaan belaka. Namun kita tegaskan disini, bahwa tak ada hikmat lain yang mengharuskan Allah menyebut diri-Nya secara tunggal (Aku) dan jamak (Kami, Kita) secara bergantian, jikalau Ia samasekali bukan dari sosok tunggal yang plural. Muslim yang berkilah akhirnya juga tidak bisa menghindar ketika disodorkan unsur non-tauhid yang melekat pada Allah SWT sendiri, seperti yang diakui-Nya: “Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur dan barat, sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa” (Qs.70:40, penekanan dari penulis).
Muhammad agaknya belum tahu dikala itu, bahwa jikalau orang berbicara tentang hakekat satu dimensi saja, maka ia hanya terbatas berbicara tentang “dunia garis”.  Bila berbicara tentang dua dimensi maka ia hanya terbatas berbicara tentang “dunia bidang”, tanpa ketebalan apapun! Dan kalau tiga dimensi maka ia berhadapan dengan “dunia ruang” dan kebendaan terbatas (seperti yang kita saksikan diseputar kita ini), dimana istilah “satu” atau “setiap” hanya dirujukkan bagi ujud yang ada batas tepian-tepian dalam wahana eksklusifitas masing-masing seperti yang dimaksudkan oleh Muhammad. Tetapi Tuhan itu Maha Multi Dimensi, dan Ia tidak tercakup oleh tepian manapun, melainkan keseluruhan Dzat-Nya (yang unik dan maha) itulah yang otomatis membedakan Dia dengan yang selainnya. Dan karena  Dzat yang unik dan maha itu tak mungkin ada duanya, maka Dia-lah ILAHI YANG ESA, dengan hakekatnya sendiri yang kita tidak mungkin tahu bilamana tidak diberi tahu oleh Dia sendiri! Namun dalam keesaan-Nya yang ilahiah itu Dia justru memberitahu (!), yaitu antara lain dengan memunculkan firman dan pribadi-pribadi-diri-Nya secara plural sebagaimana yang didemonstrasikan-Nya secara dahsyat:
…pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia (Yesus) melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara (Bapa) dari sorga yang mengatakan:“Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:16,17, Lukas 3:21,22 dll).
Disini kita melihat bahwa Bapa sorgawi sendirilah yang mendeklarasikan istilah rohani untuk Sang Anak, bukan bikinan manusia Paulus atau lainnya. Sang Bapa tidak kawin, dan Anak tidak dikaitkan dengan Maryam dengan sebutan “Putera Maryam” seperti yang dilakukan oleh Muhammad! Bahkan Allah SWT sendiri juga telah berulang kali menempatkan Isa Almasih dalam jajaran “Trinitas-Islamik” yang mirip dengan Kristianitas: ‘Kami (Allah) perkuat dia (Isa) dengan Ruhul Qudus’ (Qs.2:253,87, 5:110). Trinitas mana tidak pernah diberikan kepada siapapun, termasuk Muhammad sendiri!
Tauhid Islamik Yang“Kurang Tauhid”
Apakah ini kedengaran asing bagi telinga orang-orang Muslim? Sebetulnya tidak asing kalau saja mereka mau mencoba menyidik dan bertanya. Selidikilah ayat Qs.70:40 seperti yang sudah dipaparkan diatas, dan bertanyalah:
Seperti apakah konsep Allah SWT yang singular mutlak itu?
Khususnya bagaimana hubungan Allah dengan Quran Allah itu sendiri?
Sarjana-sarjana Islam selama berabad-abad berbeda pendapat tentang apakah Quran itu suatu produk ciptaan ataukah tidak pernah diciptakan melainkan selalu ada sejak semula seperti halnya Taurat dan Injil yang juga selalu ada disisi Allah. Tampaknya doktrin kedua cukup popular dianut mainstream Muslim. Ahmad ibn Hanbal meyakini bahwa ayat-ayat Allah adalah bagian dari Allah sendiri, bukan hasil ciptaan. Quran adalah Kalimat Allah yang telah ada sejak semula (kekal) tersimpan dalam induk ALKITAB lauh Mahfuzh di sisi Allah (lihat Qs.43:4 dan 85:22).
Mereka percaya bahwa Quran Allah bukanlah “produk” ciptaan Allah melainkan adalah kekal sejak semula, merupakan ekspresi dari Kehendak Allah yang tidak pernah absent dalam alam dan waktu. Walau yang satu merupakan bagian dari yang lain dan sama-sama kekal di sini Allah, namun entitas Quran (Kalimat Allah) tidaklah dianggap identik dengan Allah. Tetapi jikalau Kalimat Allah ini adalah entitas yang kekal disisi Allah yang berbeda dengan Allah, maka bukankah ini bercirikan suatu “modus kejamakan” di dalam Keesaan Allah sendiri?
Kejamakan ini mirip dengan apa yang dikatakan secara gamblang dalam Injil Yohanes 1:1: “Pada mulanya adalah Firman (Kalimat); Firman itu bersama-sama dengan Elohim dan Firman itu adalah Elohim”. Dengan demikian terlihatlah bahwa justru konsep Trinitas menempati basis yang lebih berdaya dalam menjelaskan hakekat Tuhan, ketimbang yang dapat diterangkan oleh para pengkritik pengagung tauhid.
Sebab dengan konsep Yang Mutlak Satu tidaklah mudah bagi pakar Muslim manapun untuk menerangkan modus-modus Allah (atau setidak-tidaknya modus kekekalan lainnya disamping keberadaan Allah SWT) yang justru menjadi oknum-oknum keilahian dalam Trinitas:
(1) Bagaimana hakekat dan posisi Quran sebagai Kalimat Allah (Firman) dalam hubungannya dengan Allah yang sama-sama kekal keberadaannya? 
(2) Siapa atau apa itu Rohulqudus menurut Quran. Apa bedanya Roh Tuhan yang kudus itu dengan Rohulqudus? Ahli-ahli Islam hanya dapat berspekulasi disini, karena Allah tidak memberi penerangan. Sebagian besar hanya percaya itu dimaksudkan sebagai malaikat Jibril, malaikat pembawa wahyu.
Namun ayat-ayat mana dalam Quran yang memastikannya? Jibril sesekali menjelma menjadi manusia, ditampakkan bagi Muhammad, dan sering berbicara dengannya (wahyu atau non wahyu); tetapi adakah Ruhulqudus Islamik pernah menjelma menjadi apa dan berbicara dengan siapa-siapa, sekalipun dengan Muhammad? Ternyata ia “bisu” tanpa suara. Pada saat lain terkesan bahwa Ruh ini sebagai “nafas” Tuhan yang ditiupkan untuk memberikan kehidupan. Ini dikatakan dalam Qs.4:171 dan 21:91, yang memperlihatkan peran dan fungsinya lain dari pewahyuan.
Dan pada saat lain lagi, ia terkesan sebagai sesuatu “KUASA” ilahi yang khusus diperkuatkan hanya kepada Isa seorang (Qs. 2:253, 5:110). Dan “Kuasa” ini sulit diartikan sebagai Jibril, mengingat Jibril justru harus berkarya sebagai pemberi wahyu sekaligus bagi Isa Al-Masih maupun Nabi Yahya yang hidup semasa dengan Isa. Jibril sebagai malaikat tentu tidak bisa “memecahkan dirinya” bagi Isa dan Yahya pada saat yang sama, karena makhluk tidak bisa maha-ada!
Pertanyaan yang tidak terjawab adalah kenapakah makna “Rohulqudus” (Roh Allah yang ilahiah, tanpa nama pribadi) dalam Alkitab sejak ribuan tahun terdahulu, kini tiba-tiba berubah menjadi makna baru yang berbeda (yang makhluk), malahan mendapat  “nama pribadi” sebagai “Jibril”? Semua nabi-nabi selain Muhammad memahami Roh Kudus sebagai ROH-Nya Tuhan sendiri yang ilahi, dan tidak ada yang memanggil-Nya dengan nama pribadi. Roh Allah telah hadir bersama Allah sebelum langit dan bumi dijadikan lewat Firman:
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang”. Lalu terang itu jadi (Kejadian 1:1-3).
Maka seharusnya Muslim perlu jeli mempertanyakan diri: “Adakah Jibril ketika berwahyu pernah menamakan dirinya sebagai Roh Kudus, atau sebaliknya, Roh Kudus berkata: ‘Akulah Jibril?’” TIDAK ADA!
Banyak orang Muslim membela konsep keesaan Allah yang “mutlak satu” itu semata-mata karena konsep ini dianggap sederhana untuk dimengerti. Tetapi baiklah kita mempertegas disini bahwa kebenaran tentang hakekat Allah tidak ada kaitannya samasekali dengan kesederhanan ESA-nya Tuhan. Bahkan bilamana hakekat-Nya tidak sederhana untuk dijangkau akal manusia (alias tidak masuk akal), justru itulah yang menandakan hakekatnya masuk akal dan pantas mengindikasikan diri-Nya yang Maha-Akbar!
Dalam abstraksi Tuhan yang Roh Maha Ada, maka Ia selalu tetap dalam ke-Maha-Ada-anNya yang ESA dimana-mana, walau secara khusus Ia “muncul” secara tidak sederhana bagi pemahaman kita, misalnya “muncul” seketika waktu sebagai api dalam semak-semak di bukit Sinai untuk berbicara dengan Musa “muka dengan muka” (atau berbicara langsung taklima dengan Allah menurut Sura An Nisa 164), namun pada waktu yang sama tidak melepaskan mata dan kehadiranNya tersebar ke seluruh jagat raya (2 Tawarikh 16:9):
Karena mata Tuhan menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatanNya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia.
Nah, kalau hal-hal ini bisa dipercaya, maka rasio kitapun setidak-tidaknya harus bisa menerima (walau tidak usah mengimani) bahwa abstraksi Tuhan Roh yang Maha Ada bisa bermodus apa saja menurut hakekat peran-peran yang dibawakan-Nya, namun tetap Ia Maha Esa dan Maha Ada. Dan lewat penyataan Tuhan sendiri (artinya kita tidak tahu dan tidak mengada-ada sebelumnya), Ia menyaksikan modus kesatuan diri-Nya kepada kita dalam istilah aslinya Tuhan sendiri yang bersifat jamak (yaitu echad, lihat misalnya kitab Ulangan 6:4), bukan dinyatakan dengan istilah yacheed (kesatuan mutlak). Dan Ia berulang kali berkata dalam ketrinitasanNya: “Dan sekarang, Tuhan Allah mengutus Aku dengan RohNya” (Yesaya 48:16). Bukankah ini senafas dengan “trinitas”  yang dikatakan Quran: “Aku menguatkan kamu (Isa Almasih) dengan Ruhul Qudus (Qs.2:253)?
Berlawanan dengan apa yang dituduhkan oleh pengkritik bahwa konsep Trinitas adalah ruwet dan tidak masuk akal, kini malahan tampak bahwa “keruwetan” tersebut  justru meneguhkan rasio kebenaran. Dan Tuhan yang konsep keilahianNya “tidak ruwet” di permukaan,  justru mendatangkan keruwetan hakiki dalam penalaran teologinya.
Kesederhanaan Tauhid Yang Membawa Masalah
Itu adalah rahasia keilahianNya yang tidak bisa dijawab manusia, namun tidak mesti memustahilkan ketritunggalanNya secara khusus. Memang banyak orang-orang mengambil kesimpulan (short cut), mensalahkan konsep Trinitas semata-mata karena dianggap terlalu berbelit-belit untuk dicernakan oleh otak.
Namun mereka kurang sadar bahwa hakekat Tuhan tidak pernah sederhana bagi manusia! Akhirnya kepada para pengolok naif terhadap  Tuhan Trinitas yang dianggap tidak sejelas dan sesederhana, kita kini ingin bertanya dalam segala kejujuran: “Apakah Dzat Allah yang dipercayai mereka adalah sederhana dan jelas untuk bisa dimengerti dalam aspek-aspek berikut ini (beberapa contoh saja):
Allah Yang Satu Mutlak dan sederhana  itu ber-zat apakah? Roh atau non-Roh? Apa hubungannya Allah dengan Roh Tuhan? Roh Kudus? Tiupan Roh Tuhan? Ayat Quran mana yang memastikannya?
Alkitab mengatakan bahwa Tuhan itu Roh adanya, dan barangsiapa menyembah Dia harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran; dan karenanya tidak diikat atau dibedakan dengan pelbagai bahasa dunia, atau arah kiblat dan waktu sembahyang khusus. Sebaliknya, apa yang disebut Dzat bagi Allah SWT tidak diketahui oleh siapapun juga, termasuk Muhammad. Namun aneh bahwa Dzat ini terkesan tidak bersifat universal atau mengatasi ruang dan waktu. Satu dan lain hal karena Allah dengan Dzat ini mengharuskan shalat dalam bahasa sektarian Arab (ciptaan manusia pra-Islam), serta mewajibkan waktu dan arah kiblat yang tidak bisa dipenuhi dalam perjalanan atau diwilayah tertentu, seperti di padang, hutan, ruang angkasa, bahkan terpeleset arahnya bagi Muslim diseluruh Indonesia sebelum “dikoreksi” oleh fatwa kiblat oleh MUI dibulan Juli yang lalu!
Dengan perkataan lain, terdapat similaritas antara fatwa MUI dengan dekrit Muhammad yang mengubah arah kiblat dari Baitul Maqdis kepada Ka’bah Baitullah. Dua-duanya diubah tidak berdasarkan kehakikian Dzat Allah yang seharusnya bersifat Maha-lintas-ruang seperti yang nyata-nyata diklaim oleh Allah sendiri:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat.”
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah…” (Qs.2:115, 142, 177).
Maka para Muslim perlu berpikir kritis disini, sebab jikalau arah kiblat yang dihadapkan ke timur atau barat adalah sama saja dihadapan Tuhan yang lintas-ruang, apalagi ditambahkan bahwa itu bukanlah suatu kebajikan, mengapa Muhammad merasa perlu mengubah arah kiblatnya secara tiba-tiba? Sebab tidak lebih dari 1½ tahun sejak kiblat awal ditetapkan (!), maka Allah SWT terpaksa harus membatalkannya dengan mengubah arah kiblat yang baru? Tidakkah itu meruntuhkan kredibilitas-Nya sebagai Allah yang Maha Benar dan Tahu Semua? Tak ada satupun jawaban Muslim yang relevan yang masuk akal, kecuali dikatakan bahwa Allah menjadikan Ka'bah sebagai kiblat demi untuk persatuan umat Islam. Tetapi baiklah kita yang kritis berkata disini, bahwa “Allah tidak akan melakukan perubahan apapun demi siapapun, jikalau hal itu didasarkan atas pertentangan terhadap hukum hukum-Nya yang ditetapkan-Nya dalam sura Al-Baqara diatas! Perubahan atau keterplesetan terhadap hukum Allah itu adalah perkara yang sangat serius dan memalukan, tetapi  Menteri Agama Indonesia bahkan berkilah dengan entengnya: “Kiblat itu niat saja. Tidak bisa presisi 100 persen kita menghadap kabah 100 persen”, ujar Suryadharma usai bertemu dengan pimpinan dewan di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (16 Juli, 2010).
  • Apakah Allah Yang Satu Mutlak dan sederhana itu berkepribadian atau tanpa pribadi? Apakah Ia sosok  dengan pikiran, emosi dan kehendak? Dan pikiran, emosi, dan kehendak-Nya seperti apa?
Banyak teman-teman Muslim tidak berani menjawabnya. Mereka menghindar atau kita cenderung mendapat jawaban bahwa Allah itu “nonpribadi”.
Oke, kalau tidak berkepribadian, “berperasaan”, dan berkehendak, kenapakah Dia berencana dan mencipta, menetapkan hukum-hukum, memerintah manusia melakukan perintah-perintahNya, dan “murka” kepada pelanggar-pelanggarnya?
Lebih jauh lagi, Allah yang mutlak satu sederhana itu semestinya konsisten dan tidak membuat kepribadian ganda yang sulit dicernakan. Tetapi  Allah yang Maha Suci dan Benar ternyata juga menyandang sifat yang sebaliknya dengan gelar Khairul Makiriin (sebesar-besarnya penipu, Qs.3:54). Ia terbukti terlibat aktif dalam pendustaan, bahkan telah menipu-dayakan umatNya dan NabiNya sendiri? (Qs.4:157; 8:43).
Allah Yang Satu Mutlak dan sederhana  itu agaknya tidak sederhana lagi ketika Ia harus bermuka-dua berurusan dengan keselamatan bagi umat-Nya.
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs.16:93, 65:3, 25:2-3, 57:22, 64:11, juga 37:96, 8:17, 13:27, 14:4, 16:37, 35:8, 74:31).
Jikalau Allah menyesatkan seseorang, maka tidak ada yang bisa menolongnya lagi! (Qs.4:88,143; 4:178,186; 6:38; 13:33; 18:17; 39:33,36; 40:33; 42:44,46). Kalau begitu, apakah Ia pada suatu saat bisa menjadi penyebab dari kerusakan atau kejahatan (author of evil) sehingga ada manusia-manusia yang tidak perlu mempertanggung-jawabkan kejahatannya?
Bahkan Allah menetapkan bahwa neraka dibuat untuk diisi oleh semua orang dan jin-jin (Qs.19:71; 32:13). Bila sebegitu dahsyat dan mutlaknya wewenang dan sewenang-wenangnya Allah terhadap manusia dalam qadar-Nya, maka apakah cukup berarti apa yang tersisa bagi upaya-upaya manusia untuk dapat menyelamatkan jiwanya (“halas”, bukan “najah” atau “falah”)? Dalam keadaan inilah Geisler mengatakan bahwa ucapan syahadat Muslim “There is no God but God” adalah juga menyuarakan “There is no one who acts but God” (“Answering Islam”, N.L Grisler & Abdul Saleeb, p.144) yang mempertanyakan apakah sesudah menentukan, Allah lalu menjadi pihak yang ditentukan qadarNya?
  • Untuk apa Anda mempercayai Allah Yang Satu Mutlak dan sederhana, bilamana Ia tidak menjanjikan kesederhanaan dalam menyelamatkan kita begitu kita mempercayaiNya, dan memberikan kita hidup yang kekal di surga? 
Tauhid bukan segalanya. Bahkan tidak relevan dan tidak berguna ketika ia tidak mampu menjawab dan menjamin sorga secara sederhana dan pasti. Bisakah anda sebagai Muslim selamat menjadi warga Sorgawi lewat doktrin tauhid? Atau justru dipastikan masuk ke neraka? (Qs.19:71)
Sementara pertanyaan-pertanyaan di atas mampu dijawab dalam Alkitab secara lurus tanpa berbelit-belit, namun agaknya tidak akan sederhana bagi pengkritik pakar untuk menjawabnya berdasarkan pewahyuan “Allah Yang Sederhana Sosok-Nya”. Dan bilamana  Anda tidak bisa memastikan apakah Anda selamat karena memegang kebenaran Tauhid, maka bagaimana Anda bisa berkata hanya Tauhid Islam yang bisa benar, karena ia sederhana untuk dimengerti? Apa bagusnya “kebenaran” yang sederhana, dan apa hebatnya ia jikalau ia  tidak memberikan kepastian dan tidak menyelamatkan Anda dan keluarga Anda? Ya, Muhammad rupanya menyadari bahwa tiang Islam yang terbesar hanya bisa dihargai sebesar itu jikalau kepadanya dilekatkan heavenly reward dan punishment yang terbesar pula. Itu sebabnya Muhammad melekatkan dua hukum kardinal yang ekstrim kepada setiap Muslim. Yang menolak tauhid dinyatakan berbuat dosa syirik dengan kepastian masuk neraka tanpa ada ampunan. Sebaliknya yang mengamalkan tauhid, dijanjikan kepastian masuk surga, sekalipun ia najis dan bejad:
PUNISHMENT: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (Qs.4:116,48)
REWARD: “Sesungguhnya, barangsiapa dari umatku yang mati, sedangkan dia tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, orang itu masuk surga.” Aku (Abu Dzar) bertanya: “Sekalipun orang itu berzina dan mencuri?” Jawab Nabi, “Ya, sekalipun dia berzina dan mencuri.” (HS. Bukhari no.647, terjm H. Fachruddin Hs dkk).
Sayang bahwa Muhammad terjebak dalam obralan janjinya tentang kepastian masuk surga dan neraka. Sebab apa yang diucapkannya itu amat sangat rancu dan rawan kebenaran! Kita bisa bertanya, “Apakah penyembah berhala dan orang Kristen (yang terkategori syirik), betul tidak bisa diampuni lagi dosanya, sekalipun dia bertobat? Jikalau begitu, mengapa para Ulama masih terus mendakwah kepada mereka dengan segala cara bahkan sampai mengintimidasi agar mereka masuk Islam? Percuma saja bukan? Dan Jikalau dibilang bahwa Allah bisa mempertimbangkan pengampunannya bila mereka bertobat dan masuk Islam, lalu apa bedanya dosa syirik (yang tak terampuni) dengan doa besar lainnya (seperti membunuh, memperkosa, menghujat Muhammad, dll) yang masih bisa diampuni? Terus terang, orang-orang yang dituduh musyirik itu justru tidak sebejad dan seperusak seperti mereka yang merampok, membunuh, dan memperkosa orang kafir atas nama Allah!
Sebaliknya, hadiah sorga bagi mereka yang sekalipun berzina dan mencuri (asal mengucapkan kalimat shahadat dan/atau tidak mempersekutukan Allah) adalah doktrin Islamik yang paling menjijikkan. Itu yang membuktikan moralitas Islam yang sejati, sekaligus Allah SWT yang menajiskan sorga-Nya! Tidak heran kita mendapati banyak teman-teman yang murtad dari Islam karena menolak masuk ke sorga yang yang satu ini. Karena sorga semacam ini mirip neraka, penuh berisikan pencuri aktif dan pezinah dan pemerkosa berangas! Mereka berkata: “Tauhid-ku sayang, tauhid-ku malang!”
Superioritas Azaz Trinitas atas Tauhid
Dr. John Warwiek Montgomery berkomentar tentang rasionalitas dari Trinitas yang dianggap tidak sederhana itu, sebagai berikut:
Yang penting adalah ketulusan kita yang iklas untuk tidak menolak suatu gagasan hanya karena mau menolak dan tidak mencoba menerima pandangan “asing”, walau tidak usah mengimaninya.
Buanglah asumsi dan tuduhan yang dihasilkan oleh salah wahyu yang kasat mata, yaitu seolah-olah iman Kristen itu politheisme yang percaya akan seorang Allah yang ber-Anak karena Ia ber-Istri, sehingga menyembah Tuhan, Isa dan Maria (atau Jibril-Rohulqudus?). Oknumnya sudah salah wahyu, dan pengertian nya dibatasi kepada fisik, matematika, dan biologi kawin-mawin yang juga salah kaprah.
Memang tidak ada istilah Tritunggal atau Trinitas baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Sama juga tidak ada istilah “Kristen” dalam Perjanjian Lama dan keempat Injil. Apakah itu menjadi buah kesalahan? Bukankah istilah TAUHID, doktrin Islam yang tertinggi ini juga tidak disebut dalam Quran? Ya, Anda akan berkata, seperti yang Kristen juga berkata, bahwa sekalipun tak adalah istilah verbatim demikian, namun konsep Tauhid (atau Trinitas) ada bertaburan dalam Quran (dan keseluruhan Alkitab)! Ketrinitasan Elohim  bahkan mulai dinyatakan oleh-Nya sebelum alam semesta diciptakan-Nya:
Berfirmanlah Tuhan: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…” (Kejadian 1:26)
Berfirmanlah Yahweh Elohim: “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita…” (Kejadian 3:22)
Disini hakekat Tuhan yang majemuk dinyatakan tatkala Ia berkata dengan “Sesama DiriNya”, bukan berbicara dengan para malaikat (dengan memakai istilah majestic plural seperti tafsiran beberapa pengkritik), sebab para malaikat tak ada urusannya dan memang tidak dapat membantu Tuhan dalam penciptaan.
Dalam Tuhan Tritunggal, bukan modus jamakNya yang tidak masuk akal, melainkan keilahian-Nyalah yang memang tidak terjangkau akal sempit manusia. Bagaimana anda memahami surga? Atau neraka? Malaikat? Setan? Iblis? Jin? Kosmos? Kehidupan? Cinta? Mimpi? Tidak mengetahui dengan utuh bukan menjadi alasan anda untuk tidak mempercayainya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab tidaklah menjadikannya bidat. Tuhan telah menerapkan porsi-porsi hakekat-Nya yang dianggapNya perlu dan cukup untuk diketahui manusia di dunia, namun bukan perlu dan cukup menurut ukuran dan maunya manusia.
Siapapun harus mengakui bahwa kesederhanaan tidak membuktikan kebenaran. Bila tidak demikian, maka percumalah orang bersusah payah belajar memahami kebenaran yang kompleks yang tersembunyi dibalik ilmu pengetahuan yang tidak sederhana. Namun, Muslim malah banyak yang tidak sadar bahwa kesederhanaan Tauhid samasekali bukan sederhana dalam arti kata gampang dipahami. Sesungguhnya Tauhid justru terlalu-sederhana sehingga ia menjadi begitu DANGKAL sampai-sampai tidak bisa dimengerti dalam kedangkalannya untuk menggambarkan seorang Allah Yang Maha Akbar! Mari kita lihat secara lebih kritis.
Pertama, kita mengutip ayat Tauhid dalam Surat Al-Ikhlas, Katakanlah:
Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
Pakar Muslim menetapkan bahwa tak ada unsur jagad raya yang bisa disamakan atau disejajarkan dengan Allah. Ahmad Deedat – pendebat ulung Islam – malah berkata bahwa Allah yang Maha Besar tak bisa dilukiskan oleh siapapun: “Allah bukan apa dan siapa yang dapat kau pikirkan, katakan, gambarkan, atau jelaskan. Apa yang kau pikirkan tentang Allah, itu bukan Allah (yang sebenarnya)”. Namun Ahmad Deedat tidak sadar bahwa pernyataannya itu sama sebangun dengan mengatakan bahwa, “Allah bukan ini (apapun yang kaukatakan), dan bukan itu (apapun yang kaukatakan)”, alias Allah NIHIL dari substansi dan dimensi apapun!
Konsep tauhid ultra dangkal ini, yang lebih tepat disebut  monoteisme-primitif  sangat rawan dalam menyampaikan hakekat Tuhan yang sebenarnya, dan berpotensi besar untuk disalah pahami, bahkan tidak berguna untuk pengenalan dan pendekatan kepada Allah. Sebab dengan hanya mengatakan bahwa “Allah itu satu (mutlak) dan Dia berbeda dengan siapapun”, Allah seperti ini kehilangan definisi dan semua ciri-ciri kepribadiannya. Ia yang dianggap SATU malahan sesungguhnya kosong dari satu substansi ketunggalan! Orang akan bingung dan bertanya: “Satu yang bagaimanakah?” atau “Satu kesatuan dari apakah?” Bukankah Dia tak ada “satu” dari yang ada? Ia hanyalah sebuah “blank-oneness”! Padahal bila ada “satu”, maka pastilah ada Dia yang dibatasi dengan satu “batas tepian” (contour) yang menyebabkan dia terhitung satu didalamnya.
Dari pandangan kacamata yang lain, tauhid dengan “Allah itu satu (mutlak) dan Dia berbeda dengan siapapun”, sesungguhnya juga tidak mengatakan apapun tentang ketauhidannya yang dianggap dahsyat. Sebab bukankah setiap pribadi manusia memang unik dan tidak mengenal duplikatnya? Ya, tidak mungkin ada ilah yang sama dengan Allah, tetapi juga tidak mungkin ada manusia lain yang sama dengan anda atau sama dengan Muhammad. Jadi dimana letak makna besar tauhid yang dangkal sebegitu, kecuali ia telah dihiperbolakan ke langit?
Kedua, Alkitab menjelaskan bahwa esensi Esa-nya Tuhan Elohim bukanlah satunya “Aku” Yacheed yang diskrit, melainkan kesatuan komposit yang berunsur “Kita” yang saling menyatu-kasih: “Kita adalah satu” (Yohanes 17:22,11,10 dll). Bila saja Tuhan itu satu mutlak yang terisolasi mutlak seperti Allah SWT, maka Ia tentu pernah menderita kesepian tatkala belum muncul obyek penciptaan yang dikasihi-Nya, mengingat Ia itu Tuhan yang Maha (rindu) Mengasihi. Al-Tabari menulis tentang kesepian Allah yang terisolasi seorang diri ketika Muhammad ditanyai: “Dimanakah Allah sebelum penciptaan-Nya?” Dan Muhammad menjawab: “Ia ada di dalam awan yang hampa udara dibawahnya atau diatasnya” (Tabari I:204). 
Tetapi dalam komposit “Kita adalah satu”, keberadaan Tuhan Elohim tidak terisolasi  “sendirian sejak azali”, sehingga Ia tidak pernah “kesepian” merindukan pihak lain untuk dikasihi-Nya. Ia selalu self-sufficient dalam Diri-Nya yang jamak yang saling mengalirkan kasih.
Ketiga, azaz tauhid gagal menerangkan kenapa manusia merindukan kasih dan komunitas yang berkaitan dengan relasi. Alkitab mengungkapkan bahwa manusia diciptakan oleh Elohim menurut gambar dan rupa-Nya dalam artian mewarisi bagian dari sifat-sifat Tuhan dalam pikiran, emosi dan kehendak, termasuk kehendak untuk berkomunitas dalam persekutuan. Dalam tauhid, semuanya tidak memiliki penjelasan teologis, karena semuanya ditelan dalam  “satu” Allah yang terisolasi total, tanpa unsur relasi dan tanpa bisa menjelaskan kenapa relasi kasih itu eksis. Bagaimana landasan rasionalnya bahwa Allah yang impersonal yang bergentayangan sendiri itu menciptakan sebuah umat personal yang saling berelasi? Sebaliknya Trinitas adalah relational dalam diri Elohim yang personal, dan karenanya manusia sebagai “gambar dan rupa Elohim” adalah relational pula yang sekaligus merindukan kasih dan komunitas.

0 komentar:

Post a Comment